STATUS
JENIS GAHARU (Aquilaria spp.)
Oleh: Rawana
(No. Mhs. 15/391300/SKT/00159)
A. Umum
Gaharu merupakan salah satu jenis
pohon yang telah lama dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat pedalaman di
berbagai pulau di Indonesia. Nama gaharu berasal dari bahasa Sansekerta “agaru”
yang berarti berat (Tarigan, 2004). Pohon yang telah terinfeksi mikrobia akan
mendepositkan resin dalam jaringan kayu sehingga menjadikan kayu menjadi berat
dan beraroma wangi apabila dibakar. Pohon gaharu tersebar hampir di seluruh
kepulauan di Indonesia, baik pulau besar seperti Kalimantan, Sumatera, Jawa,
Sulawesi, Papua, Lombok, maupun pulau-pulau kecil. Bahkan di beberapa pulau
tertentu ditemukan adanya endemik gaharu yang mempunyai kualitas gaharu yang
spesifik. Seperti pulau Bangka, di wilayah ini ditemukan adanya endemik gaharu
yang mempunyai kualitas gaharu yang
sangat bagus, harum, dengan kandungan resin cukup banyak.
Dengan kekayaan alamnya yang melimpah,
Indonesia mempunyai potensi yang besar terhadap komoditas tumbuhan gaharu.
Rahman (2008) menyebutkan bahwa pohon gaharu merupakan salah satu tumbuhan
penyusun komunitas hutan di Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Potensi gaharu alam
banyak terdapat di hutan dipterocarpaceae yang masih tersisa, terutama
pada kawasan konservasi, taman nasional, taman hutan raya, hutan lindung, hutan
adat, maupun di lahan milik masyarakat. Jenis yang ditemukan cukup banyak.
Pohon gaharu secara alamiah merupakan salah satu penyusun komunitas hutan
dipterocarpaceae yang dikenal kaya dengan biodiversitas.
Sedangkan jenis pohon penghasil gaharu
berasal dari famili Thymelaeaceae, Leguminoceae, dan Euphorbiaceae. Dari tiga
famili tersebut terdapat 8 genus (Aquilaria, Wikstromea, Gonystilus, Gyrinops,
Dalbergia, Enkleia, Excoecaria, dan Aetoxylon) dengan 17 species penghasil
gaharu. Gaharu yang mempunyai nilai sangat tinggi sebagian besar masuk dalam
famili Thymelaeaceae dengan jenis Aquilaria spp. Dalam istilah perdagangan
disebut sebagai gaharu beringin yang mempunyai nilai jual yang sangat tinggi.
Sedangkan gaharu yang mempunyai nilai jual
relatif rendah disebut gaharu buaya. Namun masing-masing gaharu
mempunyai segmen pasar yang berbeda-beda berdasarkan kualitasnya. Sedangkan
kualitas gaharu ditentukan oleh jenis dan banyak tidaknya kandungan resin dalam
jaringan kayu. Semakin tinggi kandungan resin akan semakin mahal, demikian juga
sebaliknya. Pembahasan tentang kualitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi
gubal gaharu akan disampaikan dalam bab yang akan datang. Jenis Aquilaria yang
bukan penghasil gaharu adalah Aquilaria brachyantha, A. udanetensis, A.
citrinaecarpa, dan A. cpicuata
(Salampessy, 2006).
Potensi gaharu di alam dari waktu ke
waktu mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan terjadinya over
cutting (penebangan berlebihan) yang dilakukan oleh masyarakat, maupun pemburu
gaharu yang mencari gubal gaharu. Di samping itu keberhasilan penanaman kembali
atau rehabilitasi tidak sebanding dengan
penebangan yang telah dilakukan. Laju penebangan pohon gaharu alam dipicu oleh
tingginya harga gubal di pasaran, fenomena ini mendorong penebangan tak
terkendali baik pohon besar maupun kecil, baik yang telah terinfeksi (”sudah
berisi”) maupun tidak. Akibatnya jumlah gubal gaharu yang didapat pun relatif lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah pohon yang telah ditebang.
Setiap pohon yang ditebang belum tentu
mengandung gubal gaharu. Besar kecilnya gubal yang terdapat pada setiap
tebangan sangat bervariatif. Realita ini berhubungan dengan proses terjadinya
gubal gaharu yang secara alamiah membutuhkan waktu lama. Proses pembentukannya
pun sangat kompleks. Proses ini berlangsung melalui tahapan yang sangat
panjang, dimulai dari pelukaan pada cabang, batang, atau akar akibat
mikroorganisme maupun akibat faktor eksternal seperti angin, serangan hama,
maupun penyebab yang lain. Akibat pelukaan inilah kemudian masuk mikroba
penyebab penyakit (patogen) ke jaringan
tumbuhan gaharu. Proses patologis ini merangsang tumbuhan gaharu mensekresi
resin, yang kemudian didepositkan dalam jaringan kayu.
Masyarakat pada umumnya belum
mengetahui bagaimana proses terbentuknya gubal gaharu. Disisi lain, dorongan
eksternal yang kuat dengan tingginya harga gubal, menyebabkan penebangan
menjadi tak terkendali. Dampaknya, pohon gaharu menjadi komoditas yang langka.
Mitos yang berkembang di masyarakat sangat beragam, diantaranya pohon gaharu
hanya dapat dilihat oleh orang tertentu dalam waktu tertentu, dan lain
sebagainya.
B.
Jenis Terancam Punah
Permintaan gaharu dunia terus
meningkat, baik dalam bentuk gubal gaharu (kayu), abu gaharu maupun minyak gaharu.
Kondisi ini mendorong semakin besarnya tekanan terhadap gaharu di alam. Dengan
menurunnya populasi gaharu alam khususnya jenis Aquilaria malaccensis
dikhawatirkan akan menyebabkan kelangkaan untuk jenis ini. Oleh karena itu pada
konferensi IX pada bulan Nopember 1994 di Florida Amerika Serikat, para anggota
CITES (Confention on International Trade Endengered Species of wild flora and
fauna) memasukkan Aquilaria malaccensis dalam appendix II. Artinya, pohon
jenis ini terancam punah, karena itu volume perdagangannya perlu dibatasi dan
dilakukan usaha penyelamatan dengan berbagai cara, baik konservasi in situ
maupun ex situ. Usaha domestikasi jenis ini dilakukan sesuai dengan
karakteristik ekologis yang dibutuhkan oleh jenis tersebut. Eksportir gaharu di
Indonesia wajib memiliki surat ijin CITES sesuai dengan Keputusan Presiden
Nomor 43 Tahun 1978. Jumlah dan spesifikasi gaharu yang diekspor harus
dilaporkan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, ditembuskan ke Asgarin untuk dikonfirmasikan
sesuai dengan jumlah kuota yang telah ditetapkan. Pada event konferensi ke XIII
di Bangkok, Thailand tahun 2004, ditandaskan bahwa pembatasan perdagangan juga
berlaku untuk semua jenis gaharu alam, seluruh produk dan hasil gaharu masuk
CITES appendix II. Keputusan ini dilandasi oleh sulitnya pasar dunia membedakan
produk asal species malaccensis atau bukan.
Tarigan (2004) menguraikan potensi
pohon gaharu yang masih tersisa dari daerah-daerah penghasil utama gaharu.
Seperti di Sumatera, potensi gaharu tinggal 26 %, pulau Kalimantan tinggal 27%,
di Nusa Tenggara tinggal 5 %, di
Sulawesi tinggal 4 %, di Maluku tinggal 6%, dan di Irian Jaya tinggal 37%.
Daerah yang paling besar laju kepunahanya adalah pulau Sulawesi, disusul Nusa
Tenggara, Maluku, Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Kepunahan ini juga
berkorelasi dengan rusaknya hutan alam secara umum yang disebabkan oleh
pembalakan hutan yang tidak mengindahkan kearifan lingkungan dan tidak
memperhatikan aturan TPTI yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah c.q Departemen Kehutanan.
Lemahnya pengelolaan hutan, terutama
dari aspek penegakan hukum pada masa lalu menyebabkan kerusakan hutan tidak
hanya terjadi di kawasan produksi. Banyak ditemukan kasus pembalakan hutan yang
dilakukan dengan leluasa di kawasan konservasi yang seharusnya dilarang
melakukan penebangan pohon. Apalagi sebagian besar populasi pohon gaharu
terdapat pada hutan alam maupun hutan lindung, serta kawasan konservasi. Para
pemegang hak konsesi maupun masyarakat lainnya tampaknya tidak hanya menebang
komoditas kayu industri dan pertukangan, namun juga memburu pohon gaharu. Oleh
karena itu Asgarin (2001) menyimpulkan
bahwa ketersedian pohon gaharu di alam semakin menipis, bahkan mendekati
kategori yang rentan punah. Tarigan (2004) juga menyatakan bahwa penebangan
pohon gaharu ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) pohon ditebang untuk
mendapatkan inti gaharu (gubal gaharu); (2) pohon ditebang karena tidak
mengetahui atau mengenal pohon gaharu; (3) pohon ditebang karena belum atau
tidak tahu manfaat gaharu.
Menurunnya populasi gaharu ini
dibuktikan oleh survei yang dilakukan oleh Tarigan (2004). Dari pengamatan yang
dilakukan di hutan sekitar desa Rumah Galuh ditemukan bahwa pada tahun 1970
terdapat banyak pohon gaharu dengan diameter besar dan kecil dengan anakan yang
cukup banyak. Namun pada tahun 2004, pohon gaharu yang tersisa di hutan desa tersebut tinggal
sedikit, itupun berdiameter kecil. Juga
ditemukan banyaknya tanaman gaharu yang ditebang dengan sia-sia, diantaranya dalam
pembukaan tanaman coklat seperti terjadi di daerah Tiga Juhar. Begitu juga di
daerah Basrah, Riau, dulunya terkenal dengan potensi gaharu yang cukup besar
dengan produk gaharu yang spesifik, yaitu gaharu sisip yang merupakan gaharu
yang diproduksi dengan cara menyisipkan gubal gaharu ke pohon gaharu. Namun
kini keberadaan pohon gaharu ini pun mulai jarang ditemukan di wilayah itu.
Masyarakat hanya mengandalkan gaharu yang tumbuh secara alami saja, tidak
diimbangi dengan penanaman gaharu. Penebangan liar gaharu ini tidak hanya
terjadi di lahan milik negara, bahkan gaharu yang tumbuh di lahan milik
masyarakat seperti di lahan pekarangan dan kebun rakyat juga menjadi sasaran
para penebang liar.
Jenis ini juga telah masuk dalam IUCN
Red List ver 2.3. kategori rawan (Vu A1cd) (Asian Regional Workshop dalam 2007
IUCN Red List of threatened species).
C.Jenis Asli
Jenis Aquilaria spp yang asli Indonesia diantarannya adalah Aquilaria malaccensis. Jenis ini secara alamiah tersebar di kepulauan Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan gaharu Genus Gyrinops jenis yang asli Indonesia salah satunya adalah Gyrinops versteegii, jenis ini banyak ditemukan di Indonesia bagian timur.
D. Jenis Eksotik
Jenis Aquilaria crassna merupakan tumbuhan gaharu jenis eksotik yang banyak didomestikasi di Indonesia. Jenis ini berasal dari Kambodia. Masyarakat Indonesia mengembangkan jenis ini dikarenakan pertumbuhan cepat dan mempunyai aroma yang khas yang banyak diminati oleh pembeli terutama dari Timur Tengah.
E. Jenis Endemik
Beberapa daerah di Indonesia mempunyai jenis gaharu endemik yang berbeda dengan daerah lainnya. sebagai contoh gaharu yang tumbuh di kepulauan Mentawai mempunyai aroma yang khas dibandingkan dengan gaharu daerah lain. Jenis yang tumbuh di kepulauan itu termasuk jenis Aquilaria malaccensis. Dikarenakan daerahnya yang terisolasi, dengan karakteristik tapak yang khas/specific menyebabkan gaharu yang tumbuh pun berbeda dengan daerah lain.
C.Jenis Asli
Jenis Aquilaria spp yang asli Indonesia diantarannya adalah Aquilaria malaccensis. Jenis ini secara alamiah tersebar di kepulauan Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan gaharu Genus Gyrinops jenis yang asli Indonesia salah satunya adalah Gyrinops versteegii, jenis ini banyak ditemukan di Indonesia bagian timur.
D. Jenis Eksotik
Jenis Aquilaria crassna merupakan tumbuhan gaharu jenis eksotik yang banyak didomestikasi di Indonesia. Jenis ini berasal dari Kambodia. Masyarakat Indonesia mengembangkan jenis ini dikarenakan pertumbuhan cepat dan mempunyai aroma yang khas yang banyak diminati oleh pembeli terutama dari Timur Tengah.
E. Jenis Endemik
Beberapa daerah di Indonesia mempunyai jenis gaharu endemik yang berbeda dengan daerah lainnya. sebagai contoh gaharu yang tumbuh di kepulauan Mentawai mempunyai aroma yang khas dibandingkan dengan gaharu daerah lain. Jenis yang tumbuh di kepulauan itu termasuk jenis Aquilaria malaccensis. Dikarenakan daerahnya yang terisolasi, dengan karakteristik tapak yang khas/specific menyebabkan gaharu yang tumbuh pun berbeda dengan daerah lain.
REFERENSI
Isnaeni Yupi dan Dewi Rahmawati, 2005. Prosiding
seminar Nasional Gaharu, Peluang dan
Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia. Seameo Biotrop South East Asian
Regional Centre For Tropical Biology. Bogor. Indonesia.
Isnaini
Yupi. 2008. Peran Pelukaan Alami dalam Pembentukan Gubal Gaharu: Studi Kasus
pada Aquilatia malaccensis Lamk Koleksi Kebun Raya Bogor. Buletin Kebun Raya
Indonesia Volume 11 no.1. Bogor. Indonesia.
Rahman.2008.
Analsis Vegetasi Pohon Penyusun Hutan di Muara Teweh (tidak dipublikasikan)
Tarigan
Kelin, 2004. Profil Pengusahaan
Gaharu. Departemen Kehutanan
Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Jakarta.
Terima kasih telah mengacu tulisan saya tentang gaharu. salam semangat
BalasHapus👆🏻👍🏻
BalasHapusKami punya 100an btg dgn usia tanam 22 thn mau dijual batangan/ borongan klo akur harga minat hub 082372864097 call n wa
BalasHapus