Selasa, 19 April 2016

Status jenis Gaharu (Aquilaria spp)


 STATUS JENIS  GAHARU  (Aquilaria spp.)

Oleh: Rawana
(No. Mhs. 15/391300/SKT/00159)


A. Umum
Gaharu merupakan salah satu jenis pohon yang telah lama dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat pedalaman di berbagai pulau di Indonesia. Nama gaharu berasal dari bahasa Sansekerta “agaru” yang berarti berat (Tarigan, 2004). Pohon yang telah terinfeksi mikrobia akan mendepositkan resin dalam jaringan kayu sehingga menjadikan kayu menjadi berat dan beraroma wangi apabila dibakar. Pohon gaharu tersebar hampir di seluruh kepulauan di Indonesia, baik pulau besar seperti Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Papua, Lombok, maupun pulau-pulau kecil. Bahkan di beberapa pulau tertentu ditemukan adanya endemik gaharu yang mempunyai kualitas gaharu yang spesifik. Seperti pulau Bangka, di wilayah ini ditemukan adanya endemik gaharu yang mempunyai kualitas gaharu  yang sangat bagus, harum, dengan kandungan resin cukup banyak.

Dengan kekayaan alamnya yang melimpah, Indonesia mempunyai potensi yang besar terhadap komoditas tumbuhan gaharu. Rahman (2008) menyebutkan bahwa pohon gaharu merupakan salah satu tumbuhan penyusun komunitas hutan di Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Potensi gaharu alam banyak terdapat di hutan dipterocarpaceae yang masih tersisa, terutama pada kawasan konservasi, taman nasional, taman hutan raya, hutan lindung, hutan adat, maupun di lahan milik masyarakat. Jenis yang ditemukan cukup banyak. Pohon gaharu secara alamiah merupakan salah satu penyusun komunitas hutan dipterocarpaceae yang dikenal kaya dengan biodiversitas.

Sedangkan jenis pohon penghasil gaharu berasal dari famili Thymelaeaceae, Leguminoceae, dan Euphorbiaceae. Dari tiga famili tersebut terdapat 8 genus (Aquilaria, Wikstromea, Gonystilus, Gyrinops, Dalbergia, Enkleia, Excoecaria, dan Aetoxylon) dengan 17 species penghasil gaharu. Gaharu yang mempunyai nilai sangat tinggi sebagian besar masuk dalam famili Thymelaeaceae dengan jenis Aquilaria spp. Dalam istilah perdagangan disebut sebagai gaharu beringin yang mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Sedangkan gaharu yang mempunyai nilai jual  relatif rendah disebut gaharu buaya. Namun masing-masing gaharu mempunyai segmen pasar yang berbeda-beda berdasarkan kualitasnya. Sedangkan kualitas gaharu ditentukan oleh jenis dan banyak tidaknya kandungan resin dalam jaringan kayu. Semakin tinggi kandungan resin akan semakin mahal, demikian juga sebaliknya. Pembahasan tentang kualitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi gubal gaharu akan disampaikan dalam bab yang akan datang. Jenis Aquilaria yang bukan penghasil gaharu adalah Aquilaria brachyantha, A. udanetensis, A. citrinaecarpa, dan A. cpicuata  (Salampessy, 2006).

Potensi gaharu di alam dari waktu ke waktu mengalami penurunan. Hal ini  disebabkan   terjadinya over cutting (penebangan berlebihan) yang dilakukan oleh masyarakat, maupun pemburu gaharu yang mencari gubal gaharu. Di samping itu keberhasilan penanaman kembali atau rehabilitasi  tidak sebanding dengan penebangan yang telah dilakukan. Laju penebangan pohon gaharu alam dipicu oleh tingginya harga gubal di pasaran, fenomena ini mendorong penebangan tak terkendali baik pohon besar maupun kecil, baik yang telah terinfeksi (”sudah berisi”) maupun tidak. Akibatnya jumlah gubal gaharu yang didapat  pun relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pohon yang telah ditebang.

Setiap pohon yang ditebang belum tentu mengandung gubal gaharu. Besar kecilnya gubal yang terdapat pada setiap tebangan sangat bervariatif. Realita ini berhubungan dengan proses terjadinya gubal gaharu yang secara alamiah membutuhkan waktu lama. Proses pembentukannya pun sangat kompleks. Proses ini berlangsung melalui tahapan yang sangat panjang, dimulai dari pelukaan pada cabang, batang, atau akar akibat mikroorganisme maupun akibat faktor eksternal seperti angin, serangan hama, maupun penyebab yang lain. Akibat pelukaan inilah kemudian masuk mikroba penyebab penyakit (patogen)  ke jaringan tumbuhan gaharu. Proses patologis ini merangsang tumbuhan gaharu mensekresi resin, yang kemudian didepositkan dalam jaringan kayu.

Masyarakat pada umumnya belum mengetahui bagaimana proses terbentuknya gubal gaharu. Disisi lain, dorongan eksternal yang kuat dengan tingginya harga gubal, menyebabkan penebangan menjadi tak terkendali. Dampaknya, pohon gaharu menjadi komoditas yang langka. Mitos yang berkembang di masyarakat sangat beragam, diantaranya pohon gaharu hanya dapat dilihat oleh orang tertentu dalam waktu tertentu, dan lain sebagainya. 

  
B. Jenis Terancam Punah

Permintaan gaharu dunia terus meningkat, baik dalam bentuk gubal gaharu (kayu), abu gaharu maupun minyak gaharu. Kondisi ini mendorong semakin besarnya tekanan terhadap gaharu di alam. Dengan menurunnya populasi gaharu alam khususnya jenis Aquilaria malaccensis dikhawatirkan akan menyebabkan kelangkaan untuk jenis ini. Oleh karena itu pada konferensi IX pada bulan Nopember 1994 di Florida Amerika Serikat, para anggota CITES (Confention on International Trade Endengered Species of wild flora and fauna) memasukkan Aquilaria malaccensis dalam appendix II. Artinya, pohon jenis ini terancam punah, karena itu volume perdagangannya perlu dibatasi dan dilakukan usaha penyelamatan dengan berbagai cara, baik konservasi in situ maupun ex situ. Usaha domestikasi jenis ini dilakukan sesuai dengan karakteristik ekologis yang dibutuhkan oleh jenis tersebut. Eksportir gaharu di Indonesia wajib memiliki surat ijin CITES sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. Jumlah dan spesifikasi gaharu yang diekspor harus dilaporkan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan,  ditembuskan ke Asgarin untuk dikonfirmasikan sesuai dengan jumlah kuota yang telah ditetapkan. Pada event konferensi ke XIII di Bangkok, Thailand tahun 2004, ditandaskan bahwa pembatasan perdagangan juga berlaku untuk semua jenis gaharu alam, seluruh produk dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan ini dilandasi oleh sulitnya pasar dunia membedakan produk asal species malaccensis atau bukan.

Tarigan (2004) menguraikan potensi pohon gaharu yang masih tersisa dari daerah-daerah penghasil utama gaharu. Seperti di Sumatera, potensi gaharu tinggal 26 %, pulau Kalimantan tinggal 27%, di Nusa Tenggara  tinggal 5 %, di Sulawesi tinggal 4 %, di Maluku tinggal 6%, dan di Irian Jaya tinggal 37%. Daerah yang paling besar laju kepunahanya adalah pulau Sulawesi, disusul Nusa Tenggara, Maluku, Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Kepunahan ini juga berkorelasi dengan rusaknya hutan alam secara umum yang disebabkan oleh pembalakan hutan yang tidak mengindahkan kearifan lingkungan dan tidak memperhatikan  aturan TPTI yang telah ditetapkan oleh Pemerintah c.q Departemen Kehutanan. 

Lemahnya pengelolaan hutan, terutama dari aspek penegakan hukum pada masa lalu menyebabkan kerusakan hutan tidak hanya terjadi di kawasan produksi. Banyak ditemukan kasus pembalakan hutan yang dilakukan dengan leluasa di kawasan konservasi yang seharusnya dilarang melakukan penebangan pohon. Apalagi sebagian besar populasi pohon gaharu terdapat pada hutan alam maupun hutan lindung, serta kawasan konservasi. Para pemegang hak konsesi maupun masyarakat lainnya tampaknya tidak hanya menebang komoditas kayu industri dan pertukangan, namun juga memburu pohon gaharu. Oleh karena itu Asgarin (2001) menyimpulkan  bahwa ketersedian pohon gaharu di alam semakin menipis, bahkan mendekati kategori yang rentan punah. Tarigan (2004) juga menyatakan bahwa penebangan pohon gaharu ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) pohon ditebang untuk mendapatkan inti gaharu (gubal gaharu); (2) pohon ditebang karena tidak mengetahui atau mengenal pohon gaharu; (3) pohon ditebang karena belum atau tidak tahu manfaat gaharu.

Menurunnya populasi gaharu ini dibuktikan oleh survei yang dilakukan oleh Tarigan (2004). Dari pengamatan yang dilakukan di hutan sekitar desa Rumah Galuh ditemukan bahwa pada tahun 1970 terdapat banyak pohon gaharu dengan diameter besar dan kecil dengan anakan yang cukup banyak. Namun pada tahun 2004, pohon gaharu yang  tersisa di hutan desa tersebut tinggal sedikit, itupun  berdiameter kecil. Juga ditemukan banyaknya tanaman gaharu yang ditebang dengan sia-sia, diantaranya dalam pembukaan tanaman coklat seperti terjadi di daerah Tiga Juhar. Begitu juga di daerah Basrah, Riau, dulunya terkenal dengan potensi gaharu yang cukup besar dengan produk gaharu yang spesifik, yaitu gaharu sisip yang merupakan gaharu yang diproduksi dengan cara menyisipkan gubal gaharu ke pohon gaharu. Namun kini keberadaan pohon gaharu ini pun mulai jarang ditemukan di wilayah itu. Masyarakat hanya mengandalkan gaharu yang tumbuh secara alami saja, tidak diimbangi dengan penanaman gaharu. Penebangan liar gaharu ini tidak hanya terjadi di lahan milik negara, bahkan gaharu yang tumbuh di lahan milik masyarakat seperti di lahan pekarangan dan kebun rakyat juga menjadi sasaran para penebang liar.
Jenis ini juga telah masuk dalam IUCN Red List ver 2.3. kategori rawan (Vu A1cd) (Asian Regional Workshop dalam 2007 IUCN Red List of threatened species).

C.Jenis Asli
Jenis Aquilaria spp yang asli Indonesia diantarannya adalah Aquilaria malaccensis. Jenis ini secara alamiah tersebar di kepulauan Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan gaharu Genus Gyrinops jenis yang asli Indonesia salah satunya adalah Gyrinops versteegii, jenis ini banyak ditemukan di Indonesia bagian timur.

D. Jenis Eksotik
Jenis Aquilaria crassna merupakan tumbuhan gaharu jenis eksotik yang banyak didomestikasi di Indonesia. Jenis ini berasal dari Kambodia. Masyarakat Indonesia mengembangkan jenis ini dikarenakan pertumbuhan cepat dan mempunyai aroma yang khas yang banyak diminati oleh pembeli terutama dari Timur Tengah.

E. Jenis Endemik
Beberapa daerah di Indonesia mempunyai jenis gaharu endemik yang berbeda dengan daerah lainnya. sebagai contoh gaharu yang tumbuh di kepulauan Mentawai mempunyai aroma yang khas dibandingkan dengan gaharu daerah lain. Jenis yang tumbuh di kepulauan itu termasuk jenis Aquilaria malaccensis. Dikarenakan daerahnya yang terisolasi, dengan karakteristik tapak yang khas/specific menyebabkan gaharu yang tumbuh pun berbeda dengan  daerah lain. 


REFERENSI
Isnaeni Yupi dan Dewi Rahmawati, 2005. Prosiding seminar Nasional Gaharu, Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia. Seameo Biotrop South East Asian Regional Centre For Tropical Biology. Bogor. Indonesia.
Isnaini Yupi. 2008. Peran Pelukaan Alami dalam Pembentukan Gubal Gaharu: Studi Kasus pada Aquilatia malaccensis Lamk Koleksi Kebun Raya Bogor. Buletin Kebun Raya Indonesia Volume 11 no.1. Bogor. Indonesia.
Rahman.2008. Analsis Vegetasi Pohon Penyusun Hutan di Muara Teweh (tidak dipublikasikan)
Tarigan Kelin, 2004. Profil Pengusahaan Gaharu. Departemen Kehutanan Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Jakarta.

3 komentar:

  1. Terima kasih telah mengacu tulisan saya tentang gaharu. salam semangat

    BalasHapus
  2. Kami punya 100an btg dgn usia tanam 22 thn mau dijual batangan/ borongan klo akur harga minat hub 082372864097 call n wa

    BalasHapus